Bagi masyarakat Jawa, Batik adalah bagian dari nafas kehidupan. Siklus kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, menginjak dewasa, ketika akan melangsungkan pernikahan, hingga detik terakhir sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, Batik selalu diikutsertakan.
Sementara, kesahajaan cara hidup orang Jawa yang enggan untuk menonjolkan diri , telah menimbulkan dilema dalam penelusuran sejarah desain batik. Padahal, dari satu masyarakat Jawa saja, bisa melahirkan kekayaan corak, motif, dan gaya pembatikan yang berbeda-beda. Di masing-masing daerah di tanah Jawa memiliki motif dan corak yang khas sehingga menjadi identitas Batik dari suatu daerah tertentu. Ada beberap motif yang dikenal sebagai milik Raja dan hanya boleh dikenakan oleh Raja yang bertahta, misalnya Parang Barong.
Walaupun Batik telah diresmikan menjadi Heritage of Indonesia, sayangnya tidak ada referensi tertulis tentang koleksi motif atau corak batik tradisional, sehingga terjadi kesenjangan pengetahuan antargenerasi. Masalah muncul ketika generasi tua yang mengerti benar tentang seluk beluk corak Batik, telah tiada tanpa sempat menurunkan ilmunya kepada generasi muda. Dan, sebelum pengetahuan akan warisan masa lalu benar-benar hilang, Ir. Sri Soedewi Samsi mengumpulkan corak dan motif batik tradisional dari Yogyakarta dan Solo ke dalam satu buku, yang berjudul “Teknik dan Ragam Hias Batik Yogya & Solo”.
Siapa Ibu Dewi itu? Beliau adalah Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Kerajinan dan Batik serta rektor IKIP Yogyakarta, yang sudah lama menaruh perhatian besar terhadap Batik, khususnya yang berasal dari Yogyakarta dan Solo. Perempuan berusia 81 tahun ini mengumpulkan selembar demi selembar motif batik sejak tahun 70-an dan dari ribuan koleksi beliau, 370 corak di antaranya dibundel rapi dalam buku ini. Niat awalnya ketika membuat buku ini adalah ingin membagi seluas-luasnya ilmu Batik yang mencakup banyak sekali. Dan, tercetaknya buku ini juga sebagai bentuk apresiasinya kepada semua pembatik di pelosok-pelosok daerah yang hingga kini masih banyak tertahan dalam keadaan ekonomi buruk karena tidak adanya pembagian royalti yang jelas kepada para Batik master.
Ibu Dewi berharap kelak buku ini nantinya harus bisa “dijiplak” oleh siapapun yang berminat tentang Batik atau tertarik bekerja di industri pembatikan , terutama industri batik rakyat. Karena, dari perjalanannya ke berbagai sentra batik rakyat, ditemukan kenyataan bahwa salah satu kesulitan para pembatik adalah mendapat gambar pola untuk motif tradisional. Ibu Dewi tidak ingin motif tradisional tersebut suatu hari akan hilang ditelan zaman hanya karena tiadanya referensi, baik dalan bentuk buku ataupun penuturan ahli Batik, dan akhirnya kebudayaan ini diakui oleh bangsa lain.
Buku “Teknik dan Ragam Hias Batik Yogya & Solo” ini diterbitkan sebanyak 1000 eksemplar dan akan dibagikan gratis ke sekolah-sekolah seni dan batik, sentra-sentra industri batik rakyat, paguyuban batik, serta pusat-pusat belajar masyarakat. Pembaca bisa dengan mudahnya memahami isi buku ini, yang terdiri dari dua hal pokok, yaitu teknik pembuatan batik, dari mulai pemilihan hingga proses pewarnaan, serta koleksi pola motif batik tradisional Yogya dan Solo. Peluncuran buku ini dikemas ke dalam acara yang sangat Indonesia di Restoran Palalada, Grand Indonesia, Jakarta, seperti dilansir dari Fimela.