Sebagai orang Bali, darah seni Dayu Jiwa nampaknya sudah mengalir sejak kecil. Namun sayangnya ia memutuskan untuk melanjutkan usaha keluarganya untuk mengurus restoran Hydepark Corner di Sanur.
“Pada suatu ketika saya mulai tertarik dengan batik, karena ada teman saya dari Inggris yang menantang saya untuk kenal lebih jauh dengan batik,” tukas Dayu kepada Kompas Female, saat acara Katumbiri Expo di Jakarta Convention Center.
Merasa tertantang untuk mengenal batik asli, atas anjuran temannya Dayu lantas menuju ke desa Kerek di Jawa Timur pada tahun 2003. “Saya pergi sendirian, bermodal nekat untuk belajar membuat batik,” tukasnya. Nasib baik berpihak padanya, karena secara kebetulan ia bertemu dengan seorang pengrajin batik yang baik. Dalam waktu dua minggu, Dayu akhirnya menguasai teknik membatik dengan baik.
Sebagai orang Bali, Dayu pun berpikir untuk membuat kreasi batik tulis yang menonjolkan ciri khas Bali. “Sulit untuk membuat motif khas Bali, dan saya bingung karena semua motifnya sudah ada. Akhirnya saya pun memodifikasi motif yang sudah ada,” bebernya.
Dayu mengaku bahwa awalnya ia sempat mendapat pertentangan dari “guru-guru” batiknya karena motif batiknya dianggap menyalahi pakem yang ada. Dayu sendiri mengganggap bahwa aliran yang digunakannya adalah aliran suryalisme, dimana ia memodifikasi motif naga yang sudah ada menjadi sedikit berbeda. Ia membuat motif naga itu tampil lebih panjang dan sedikit berbeda, atau memodifikasi motif semeru dengan model tambahan motif lainnya. “Tapi akhirnya mereka sudah mengerti dan bisa menerimanya karena itulah motif batik buatan saya,” tambahnya.
Kecintaan pada seni batik akhirnya membuat Dayu mengambil satu langkah besar untuk menjual restorannya tahun 2004 dan mulai mengolah batik. Suatu saat ketika sedang pulang ke kampung halaman sang suami di Belanda, hatinya pun langsung tertarik dengan sebuah desain baju poncho. “Dari situ mulai kepikiran untuk membuat baju poncho dari batik,” tukasnya.
Memberdayakan masyarakat sekitar
Setelah mendapatkan model yang diinginkan, Dayu lantas terpikir untuk mulai memberdayakan ibu rumah tangga di sekitar rumahnya untuk membantunya menjahit. “Saya ajak mereka untuk berwirausaha kecil-kecilan dengan menjahit model baju poncho yang saya inginkan,” bebernya. Untuk mendapatkan hasil baju poncho batik yang diinginkan, Dayu pun harus rela untuk membongkar baju-baju contoh agar polanya sesuai dengan aslinya.
Bahan-bahan baju batik yang dibuat seringkali menyisakan potongan-potongan kain, atau yang disebutnya limbah batik. Atas inspirasi dari suaminya, Dayu pun memanfaatkan limbah batik ini untuk memodifikasi poncho buatannya. Ia menggunakan teknik bolak-balik di bagian dalam dan luar bajunya.
Untuk menghasilkan kreasi yang benar-benar beda, Dayu lebih suka membuat baju batik dengan menggunakan kain lawasan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan warna yang unik. Hanya saja, ia kerap terkendala menemukan batik lawasan yang benar-benar sesuai keinginannya. Akhirnya ia pun mencoba “melawaskan” sendiri kain tersebut dengan berbagai cara. “Awalnya pakai bahan kimia, tapi akhirnya saya menemukan cara lain dengan mencucinya menggunakan campuran daun mangga dan deterjen,” ujar perempuan yang sering mencari inspirasi dari majalah-majalah mode ini.
Dayu mengaku butuh waktu yang cukup lama untuk membuat sebuah baju batik lawasan bergaya bolak-balik ini. Selain butuh waktu untuk memberi efek lawas, ia pun butuh waktu lama untuk mengombinasikan warna-warnanya, serta berkreasi dengan berbagai model dan warna maupun teknik penjahitannya. “Makanya dari semua baju saya, tidak ada dua jenis baju yang sama, satu baju hanya punya satu ukuran dan satu jenis,” bebernya.
Modal nekat
Dayu bisa dibilang hanya bermodal nekat. Baju poncho kreasinya pun awalnya hanya dijual kepada teman-teman atau saudaranya. Namun minat yang semakin luas mendorong Dayu untuk memasarkannya lebih luas. “Dengan modal 20 juta rupiah dari suami, saya nekat jualan di pameran Adiwastra tahun 2008 di Jakarta dengan nama Batik Ijen Lawasan,” kenangnya.
Tak disangka, batik buatannya ini ternyata laku keras di pameran tersebut, dan terjual 300 potong. Hal ini semakin menambah kepercayaan dirinya untuk terus memasarkan batiknya. Berbekal keunikan batik, model baju, serta teknik penjahitan yang rapi, beberapa kali ia sempat bekerjasama dengan desainer Anne Avantie untuk mendesain busana dengan batik lawasan.
Meski tak memiliki toko sendiri untuk menjual baju-bajunya, Dayu mendapatkan tawaran untuk menjual produk Batik Ijen Lawasan di Alun-Alun Grand Indonesia, Debenhams, serta pameran-pameran besar lainnya di Jakarta. Kini untuk setiap pameran, ia bisa menjual sekitar 500-600 potong baju, dan keuntungan yang diraupnya dari beberapa department store yang menjual produknya bisa berkisar antara Rp 20 juta per bulan.
Sampai saat ini meski sudah terbilang sukses membesarkan label Batik Ijen Lawasan, Dayu masih tetap menghadapi kendala, di antaranya adalah masalah pekerja. “Pekerja saya adalah ibu rumah tangga, sehingga tidak bisa bekerja full-time. Selain itu mental bekerjanya pun masih kurang, dan kurang percaya diri bahwa mereka mampu untuk membuat sesuatu yang bagus,” tambahnya.
Untuk semakin menyemangati dirinya dalam berbisnis, Dayu selalu berpedoman pada keyakinannya untuk berani berekspresi, berani mencoba, dan melangkah. “Dan jangan lupa untuk tetap berani bermimpi untuk sukses,” pungkas Dayu.
Saturday, April 18, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment