Sosoknya begitu ramah menyapa para pengunjung yang datang ke Pendopo Museum Tekstil, Jakarta Barat. Dengan penuh kesabaran, ia mengajarkan para peserta workshop yang sengaja datang untuk belajar membatik.
Kebanyakan peserta yang datang adalah warga negara asing, seperti Jepang dan Jerman. Tapi, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi pria kelahiran 27 Agustus 1956 ini, Sarnadi Adam.
Sarnadi adalah salah satu dari sedikit pelukis yang masih bertahan dengan lukisan batik kain sebagai media dalam mencurahkan isi hatinya. Bahkan, bisa jadi Sarnadi merupakan satu-satunya pelukis Jakarta yang masih mau menggunakan teknik menggambar pada tekstil yang prosesnya cukup rumit.
Dia seolah tidak tertarik dengan lukisan kanvas yang mengangkat tema, ingar-bingar perkotaan, atau sindiran terhadap pemerintah atas kondisi perkotaan saat ini. Bagi Sarnadi, dia memutuskan tetap setia memelihara tema lukisan batik Betawi karena ia terlahir sebagai putra Betawi. "Siapa lagi yang akan melestarikan budaya Ibu Kota kalau bukan dari darah Betawi sendiri?" ujarnya.
Batik bukanlah satu-satunya media yang ditekuni oleh Sarnadi. Dia pun sempat mencoba melukis menggunakan kanvas. Namun, pada akhirnya kecintaan pada lukisan batik Betawi kadung membuatnya fokus untuk melestarikan seni ini.
Media batik sendiri bukan hal asing bagi Sarnadi, apalagi ia sempat lama tinggal dan menuntut ilmu di Yogyakarta. Sehingga, pengaruh lingkungan sedikit banyak membuatnya jatuh cinta terhadap batik.
Jika disimak dari aspek demografi, rasanya agak janggal bila seorang pelukis asli Betawi melukis dengan medium batik yang kebanyakan diusung para seniman dan perajin asal Jawa. Tapi, justru di situlah letak keunikan sosok Sarnadi.
Batik, seperti yang ingin ditegaskan Sarnadi, adalah ikon budaya Indonesia yang paling istimewa. Keberadaannya menjadi identitas tersendiri bagi negara ini. Kelahiran batik pun sangat berhubungan dengan kreativitas bangsa Indonesia.
"Saya bangga akan identitas negara saya, yaitu batik. Maka, dengan ini, saya bertekad melestarikan budaya batik ke luar negeri lewat lukisan kain supaya mereka tahu bahwa batik milik kita, Indonesia," ujarnya.
Sebagai seorang pelukis profesional, Sarnadi aktif dalam menyelenggarakan dan mengikuti berbagai pameran. Baginya, batik adalah untuk pengangkatan eksistensi diri, bentuk pertanggungjawaban diri sebagai seniman, maupun pameran yang bersifat seremoni dan sosial. Sehingga, kata dia, pemerannya sempat tercatat di New York, Belanda, Jerman, Prancis, dan negara-negara lainnya.
"Dalam pameran di luar negeri tersebut, sentuhan lukisan kain batik Betawi masih saya tonjolkan walau beberapa ada lukisan dengan alur cerita lain. Namun, para penikmat seni di sana tampaknya lebih melihat saya dengan lukisan batik Betawi. Sudah berciri khas katanya," kata dia. Republika
Monday, May 25, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment