Social Icons

Wednesday, January 14, 2015

Mengenal Batik Jawa Hakokai

Setelah sekian waktu memikirkan tentang berbagai topik paling menarik tentang batik untuk dibahas di tahun 2012 ini, akhirnya kami memutuskan mengangkat sebuah cerita kuno yang membuat banyak pecinta batik penasaran akan kisah perjalanan batik satu ini di Indonesia.


Kali ini Info Seputar Batik mengutip sebuah info dari “Batik Indonesia” tentang Cerita Batik Jawa Hokokai.

Setelah sekian lama mempelajari dan menelusuri tentang apakah batik Jawa Hokokai juga disebut batik Jawa kuno atau tidak, akhirnya kami dapat memberikan sebuah kesimpulan.

Batik Jawa Hokokai yang mulai dibuat pada tahun 1942 selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, tentu saja termasuk batik kuno jika kita pelajari dari tata bahasa. Namun, dalam menggolongkan jenis-jenis batik, maka dibuatlah sebuah perbedaan tentang batik Jawa kuno dan batik Jawa Hokokai.

Batik Jawa kuno ditetapkan sebagai batik dengan motif-motif asli Indonesia (Keraton) yang bukan saja dibuat pada jaman dahulu melainkan merupakan batik yang khusus digunakan oleh kalangan tertentu. Sebut saja salah satu motif batik tertua, kawung. Selain itu ada juga Sidomukti, Limaran, Parang, Gringsing, dan lain-lain.

Bagaimana dengan Batik Jawa Hokokai?

BATIK sangat cepat menyerap unsur-unsur baru yang berada di sekitar masyarakat, terutama batik-batik dari daerah pesisir. Batik Belanda menjadi istilah khusus untuk menggambarkan pengaruh orang-orang Belanda di Jawa. Ada batik dengan motif yang berasal dari cerita Si Runjung Merah (Little Riding Hood), ada motif rangkaian bunga yang diikat pita dan disebut sebagai motif buketan dari asal kata bouquet. Motif burung hong, singa, merak, adalah beberapa yang menunjukkan pengaruh Cina.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942-1945 sebagai bagian dari kampanye penaklukan Asia Timur Raya, pengaruh Jepang juga terasa pada batik-batik di pesisir utara Jawa Tengah. Pada masa itu, dilahirkan batik-batik tulis yang disebut sebagai batik Jawa Hokokai. Nama ini mengikuti nama organisasi propaganda Jepang yang mengindoktrinasi semua yang berusia di atas 14 tahun tentang konsep Asia Timur Raya. Mungkin karena periode pendudukannya yang singkat serta kekejaman Jepang yang luar biasa selama 3,5 tahun masa penjajahan itu, maka sedikit saja informasi yang tersedia tentang batik Jawa Hokokai. Juga belum ada tulisan yang khusus membahas batik dari periode ini.

Batik-batik dari era 1942-1945 yang sering disebut sebagai batik Jawa Hokokai ini dipamerkan di Gedung Arsip Nasional pada tanggal 13 September – 24 September 2000 dari pukul 09.00-16.30, termasuk Minggu. “Pada hari Kamis (21/9) malam ada presentasi batik Jawa Hokokai dari Iwan Tirta di Gedung Arsip, sebaiknya yang berminat memesan tempat lebih dulu karena tempatnya terbatas,” kata Tamalia Alisjahbana, Direktur Eksekutif Yayasan Gedung Arsip Nasional.

Iwan Tirta dalam bukunya Batik, A Play of Light and Shades, menyebutkan para juragan batik memperkenalkan batik Jawa Hokokai sebagai tanda “penyesuaian” kepada penguasa baru supaya mereka mendapat tempat. Batik Hokokai mengingatkan pada sehelai kanvas, di mana setiap bidangnya diisi dengan rapat oleh ragam hias. Bunga sakura dimasukkan ke dalam batik Hokokai, tetapi secara keseluruhan tidak ada pengaruh khusus desain Jepang. Menurut Iwan, batik Hokokai tampak sebagai evolusi alamiah banyak batik lain di pantai utara Jawa yang dipengaruhi oleh Cina dan Eropa.

Hermen C Veldhuisen dalam Fabric of Enchantment, Batik from the North Coast of Java, secara singkat menyebut batik Hokokai dibuat di bengkel-bengkel milik orang Indo-Eropa, Indo-Arab, dan Peranakan, yang diharuskan bekerja untuk orang-orang Jepang karena kualitas pekerjaan bengkel mereka yang sangat halus. Sedangkan kain katunnya dipasok oleh orang-orang yang ditunjuk oleh tentara pendudukan Jepang.

Ciri-ciri kain panjang pada masa ini menurut Veldhuisen adalah penuhnya motif bunga pada kain tersebut. Meskipun gaya batik ini disebut sebagai diperkenalkan oleh dan untuk Jepang, tetapi sebetulnya gaya ini sudah muncul beberapa tahun sebelumnya. Bengkel kerja milik orang Peranakan di Kudus dan Solo pada tahun 1940 sudah menggunakan motif buketan yang berulang, dengan latar belakang yang sangat padat dan disebut sebagai buketan Semarangan. Kain-kain ini dibuat untuk Peranakan kaya di Semarang.

Kain batik pagi-sore, yaitu kain batik yang terbagi dua oleh dua motif yang bertemu di bagian tengah kain secara diagonal, juga bukan merupakan ciri khas batik Hokokai, karena kain pagi-sore ada kain pagi-sore yang dibuat pada tahun 1930 di Pekalongan. Dengan kain pagi-sore, efisiensi pemakaian menjadi salah satu tujuan karena selembar kain bisa dipakai untuk dua kesempatan dengan motif berbeda. Warna yang lebih gelap biasanya dipakai di bagian luar untuk pagi dan siang hari, sementara bagian yang berwarna pastel dipakai pada acara malam hari.

Meskipun begitu, Veldhuisen menyebutkan batik Hokokai adalah salah satu contoh gaya batik yang paling banyak berisi detail, menggabungkan ciri pagi-sore, motif terang bulan, dan tanahan Semarangan. Batik Hokokai menggunakan latar belakang yang penuh dan detail yang digabungkan dengan bunga-bungaan dalam warna-warni yang cerah. Motif terang-bulan awalnya adalah desain batik dengan motif segi tiga besar menaik secara vertikal di atas latar belakang yang sederhana.

Meskipun buku-buku tentang batik umumnya hanya menyebut sekilas saja tentang batik Jawa Hokokai, tetapi Yayasan Gedung Arsip Nasional berhasil menyusun katalog pameran dengan menggunakan informasi dari nara sumber yang masih ada. Mereka adalah kolektor batik atau juragan pembuat batik, seperti Ny Eiko Adnan Kusuma, Ny Nian Djoemena yang menulis beberapa buku tentang kain Indonesia, dan Iwan Tirta yang artisan batik.

Kain-kain batik Jawa Hokokai yang dipamerkan di Gedung Arsip Nasional itu hampir semuanya merupakan batik pagi-sore dengan warna yang cemerlang. Kupu-kupu merupakan salah satu motif hias yang menonjol selain bunga. Meskipun kupu-kupu tidak memiliki arti khusus untuk masyarakat Jepang, tetapi orang Jepang sangat menyukai kupu-kupu. Namun, kupu-kupu dianggap bukan merupakan pengaruh Jepang, melainkan pengaruh dari juragan Cina yang membuat batik di workshop mereka. Untuk orang Cina, terutama yang berada di Indonesia, kupu-kupu merupakan lambang cinta abadi seperti dalam cerita Sampek Engtay.

Motif batik yang dominan lainnya adalah bunga. Yang paling sering muncul adalah bunga sakura (cherry) dan krisan, meskipun juga ada motif bunga mawar, lili, atau yang sesekali muncul yaitu anggrek dan teratai.

Motif hias yang sesekali muncul adalah burung, dan selalu burung merak yang merupakan lambang keindahan dan keanggunan. Motif ini dianggap berasal dari Cina dan kemudian masuk ke Jepang.

Hampir semua batik Jawa Hokokai memakai latar belakang (isen-isen) yang sangat detail seperti motif parang dan kawung di bagian tengah dan tepiannya masih diisi lagi dengan misalnya motif bunga padi. Menurut Tamalia, itu menggambarkan suasana saat itu di mana kain sangat terbatas sehingga pembatik memiliki banyak waktu untuk mengerjakan selembar kain dengan ragam hias yang padat. Sebagian batik Hokokai ada yang menggunakan susumoyo yaitu motif yang dimulai dari salah satu pojok dan menyebar ke tepi-tepi kain tetapi tidak bersambung dengan motif serupa dari pojok yang berlawanan.

Meskipun namanya berbau Jepang dan muncul pada masa pendudukan Jepang, tetapi menurut Tamalia batik Hokokai tidak diproduksi untuk keperluan Jepang melainkan untuk orang-orang Indonesia sendiri. Batik-batik itu awalnya dipesan oleh orang dari lembaga Jawa Hokokai untuk orang-orang Indonesia yang dianggap berjasa dalam propaganda Jepang. Kemudian batik seperti ini menjadi mode dan banyak orang Indonesia kaya yang ikut membeli batik dengan ciri tersebut.

Yang masih menimbulkan pertanyaan, meskipun pendudukan Jepang atas Indonesia dikenang sebagai masa penjajahan yang sangat pahit, tetapi mengapa kepahitan itu tidak muncul dalam ragam hias sama sekali. Justru batik Jawa Hokokai memberi kesan umum sebuah kegembiraan dengan warna yang cerah, bunga, kupu-kupu, merak. Di sini, memang masih diperlukan riset lebih jauh mengenai batik ini.

Jawa baru

Setelah Perang Dunia II usai, Jepang takluk dan angkat kaki dari Indonesia, batik sebagai industri mengalami masa surut. Namun, motif-motif batik terus berkembang, mengikuti suasana. Ketika itu juga muncul istilah seperti batik nasional dan batik Jawa baru. Batik Jawa baru bisa disebut sebagai evolusi dari batik Hokokai. Pada tahun 1950-an batik yang dihasilkan masih menunjukkan pengaruh batik Hokokai yaitu dalam pemilihan motif, tetapi isen-isen-nya tidak serapat batik Hokokai.

Artisan batik yang kembali mengangkat kembali motif Hokokai adalah Iwan Tirta. Pada tahun 1980-an Iwan menginterpretasi ulang motif batik Jawa Hokokai dalam bentuk desain yang baru. Ia memperbesar motif bunga seperti krisan dan mawar serta menambahkan serbuk emas 22 karat sebagai cara untuk mempermewah penampilan batik tersebut. Untuk pergelarannya pada akhir tahun ini, Iwan juga membuat motif kupu-kupu dalam ukuran besar.

Batik memang bukan asli seni membuat ragam hias khas Indonesia, tetapi sejarah dan perkembangan batik menunjukkan bahwa batik Indonesia masih yang terbaik.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Miliki Segera

 photo BP128.jpg

Minat? Klik Gambarnya

 photo BP129.jpg

Klik Gambar

 photo BP127.jpg
 
Blogger Templates